Jawaban Pedro Untuk Cinta * Cerpen Liswan Payub * diangkat dari sebuah puisi yang berjudul “Tentang Seseorang" dibacakan oleh Dian Sastrowardoyo. SUDAHLAH, aku sudah mendengar semua perkataanmu. Jika kau selalu berlari, mengepakkan kakimu yang jenjang itu. Merayapi pepohonan yang rimbun. Tak perlu gelisah, percayalah—aku sudah mengerti sepenuh hati. Kau yang selalu menyanyikan suaramu. Meneriakkan kepalsuan tentang sepi yang mencekam. Sebab, nyatanya—dunia senantiasa sama. Andaikata bumi ini tidak lagi bulat, barangkali kita perlu gelisah. Tapi, bumi tetap sama. Masih tetap berevolusi. Mengganti kalender, menyerpihkan roda-roda waktu yang terus berputaran. Walaupun, aku yakin sepenuh hati bila kau tak pernah suka hidup dengan kesendirian. Dan, kini terbaca jelas jika kau mendadak menjelma menjadi perempuan paling cengeng yang tercipta di dunia. Melepaskan kesedihanmu yang berlarut-larut. Namun, percayalah biarpun kau menangis sampai air matamu kering. Sampai seluruh permukaan tanah basah dan menggenang. Hidup tetap tak akan berubah. Ibaratnya, kita ini bagai wayang-wayang yang senantiasa digerakkan. Kita hanya bisa mengikuti peran itu. Barangkali pula, kita hanya sanggup menerka, menduga. Segala yang bakal terjadi nanti. Ya, siapakah yang bisa menerka masa mendatang secara tepat seratus persen? Untuk itu, sekiranya kau tahu, Cinta—aku memilih untuk tidak perlu lagi bersembunyi. Mengucilkan diri dari peradaban yang kian mengenaskan ini. Setiap hari kita selalu saja disuguhi berita kacangan. Kita selalu disumpal oleh segala omong-kosong, tipu-daya, makian-makian, hinaan, entah kekotoran lainnya. Sementara, tengoklah semuanya. Tengoklah segalanya yang telah tumbuh. Peradaban satu menjajah peradaban lain. Di tanah yang berlimpah-ruah kekayaan. Di tanah yang masyarakatnya selalu santun. Kita hirup semuanya. Kita biarkan darah-darah mengalir. Menciptakan dendam, mengalirkan hasrat yang lama sekali tertunda. Cinta, bila kau ingin bingar dan pergi ke pasar, silakan. Dan, percayalah aku tak pernah melarangmu, aku persilakan kamu berbuat apapun. Aku percaya, kau telah menjadi perempuan yang dewasa saat ini. Aku percaya, kau mampu menjaga dirimu sendiri. Kini, aku tak mau lagi batasi pergaulanmu. Sebab, semuanya telah mengucur deras sekali. Bagai banjir yang menyeruak keluar. Teknologi yang menjelma jadi ratusan kable yang bisa menghubungkan kemana saja. Sehingga kitapun bisa mentransfer pikiran, ideologi, juga kenangan seketika itu juga. Setiap kali memencet sebuah tombol kita akan menjadi kepingan data. Tidakkah kita terlalu kecil sekarang? Bagai debu yang terus beterbangan, menyapu kebingsalan diri. Untuk semesta ini, jagat raya ini. Apalah artinya kita? Cinta, aku ingat pula, bila kau suka sekali dengan pantai. Maka, ketika kau berkata ingin berlari ke pantai, aku telah mahfumi. Kau suka sekali mencumbu pasir yang hangat itu. Kau suka sekali memainkan kerang-kerang yang berserak begitu saja. Menatap ombak yang terus menghanjar bibir pantai. Mencium aroma laut yang asin. Menatap kepakan sayap camar-camar laut yang terbang meninggi. Sambil, perlahan membayangkan andai saja diri kita seperti camar itu. Yang terus terbang melewati batas-batas wilayah tanpa mesti berpikir pusing. Tentu, puisi yang kau bacakan itu, telah dihapal sebagian besar remaja kita. Remaja yang tengah mencari cinta. Seperti kamu. Remaja yang selalu kesepian, menatap dirinya sendiri, sembari bergumam, “Kok, aku bisa tinggal di negeri macam ini, yah!”. Sejak itu, aku selalu teringat akan tawamu yang melebar. Setiap kali kau menggenggam hangat pasir putih. Pasir yang kau katakan akan kau bingkiskan kepada dunia. Sejak itu, aku tahu kita selalu memandang dunia. Menatapi dunia, sedang kita dianggap tidak pernah ada oleh dunia itu. Kita merasa begitu saja dicuekin. Kita yang melumpuh. Pada saat baytang-bayang rasa sepi menusuk. Memangku kita setiap malam dan siang. Ketika malam-malam dingin mengoyak badan, juga siang yang panas dengan garang menyentuh ubun-ubun. Sungguh, percayalah, Cinta. Akupun sangat membenci kesepian dan kesendirian itu. Tidaklah mengenakkan hidup di dunia ini hanya seorang diri? Tanpa teman, keluarga, ataupun seseorang yang paham akan keberadaan kita. Kita bagai dipincangkan oleh keadaan, kita merengguknya. Menatap kerlipan-kerlipan bintang yang datang. Dan, mungkin, orang-ortang tak akan pernah memeimkirkan itu semua. Orang-orang tak pernah membungkusnya semua. Namun, kemana kita sekarang? Apa kita akan selalu merayapi kesepian itu dengan penuh rasa takjub? Apa seharusnya kita penuhkan rasa kosong di dada itu? Membuat sebuah keributan kecil, selayak seorang pemabuk yang meracau tanpa jelas ujung pangkalnya. Seperti juga detik-detik yang melayang. Mengganti usia. Menaksir kita untuk selalu terjaga, memandang uban-uban yang datang. Kok, kita bisa tiba-tiba menjadi tua dan bongkok. Terkadang, aku berpikir, kitalah yang sebenarnya sedang tolol. Ya, kitalah yang tertolol, untuk apa kita cari-cari pula makna cinta? Bukankah cinta itu merupakan suatu peristiwa dalam roh? Semacam kerinduan dimana tak seorangpun bisa menggambarkannya. Kita hanya bisa merasakan getaran itu. Hangat. Begitu membara. Seperti juga kamu yang selalu memandang senja di pantai. Menyaksikan matahari membara. Barangkali, menurut perkiraanku, cinta semacam itu. Kita hanya bisa mereka-reka. Mencari dalam kepekatan. O, seperti inilah cinta. Dan, kembali kita akan menunggu lonceng itu. Jika memang kehiduypan ini adalah fana, tak abadi. Lonceng-lonceng waktu yang memburu kita, sampai udara yang dihirup terlalu tipis. Sampai rasa sesak yang muncul di dada begitu pekat. Ah, Cinta, untuk apa pula kau tuliskan sajak itu? Menyebarkannya ke seluruh kota. Tidakkah kau merasa gelisah bila kisah kita terbaca. Dan, siapa pula itu Rangga. Khayalanmu-kah? Tidak sanggupkah kau menunggu rindu yang berdenyar, setiap kali kita terjaga—kemudian termabuk dalam suasana yang begitu mencekam. Kini, terjadilah semuanya, telah kau susun jelaga-jelaga yang baru untuk menghayati semua. Bagai penalaran yang tumpul. Kau yang selalu tergesa dalam setiap tindakan. Kau yang terlampu ceroboh. Maka, ketika kau menghimpun rindu itu, aku sebenarnya telah menduga kesemuanya itu gombal belaka. Hanya permainan kata-kata yang kau balut lewat mick-up, kau taburi dengan senyum-senyum palsu. Sungguh, akupun mendadak begitu heran tentang kehidupan ini semua. Berapa banyak orang yang kita kenal, namun dengan seketika lenyap begitu saja. Tidakkah itu semua mengherankan? Maka, ketika kau bilang akan rasa sepi yang menjalar itu, aku teringat diriku sendiri. Barangkali, kita telah lama tak bertukar kabar, melebarkan kepakan rindu sekadar membuktikan diri pada dunia jika kita sebenarnya masih ada. Belum punah. Kita masih melihat seluruh kepincangan itu, apa-adanya. Cinta, lalu kau ceritakan masalah Rangga kepadaku. Terus-terang, aku cemburu. Bukankah, kau tahu jika aku mengagumi dirimu bagai pantai. Mungkin, dapat abadi. Pantai yang selalu berdiri menatap ombak dengan gelisah selama ratusan tahun lampau. Aku mengagumimu lewat matahari yang membara di saat senja. Menggamit pasir-pasir di pantai untuk terus terjaga. Aku tahu, barangkali aku bukanlah orang yang cocok buatmu. Tapi, ya, mbok dipikirkan dulu sedikit. Pikirkanlah, pantai yang telah kau teriakan itu. Dimana buih-buih ombak terus datang dengan ganas, menerjang prahara. Menciptakan senyum baru bila hidup tak selamanya mesti berbahagia, punya keluarga, lantas hidup tanpa masalah. Memang, aku tahu pula jika kebosanan begitu cepat singgah. Melibas, menerjang kekalutan pikiran. Sampai kita terjaga, untuk apa kita mesti berada disini? Dan, mungkin itu pulalah yang membuat aku selalu tersenyum setiap kali mengingat tentang dirimu. Mendadak hatiku dipenuhi dengan bunga-bunga. Membengkak, dan harumnya senantiasa beterbangan di udara. Apabila, kau masih tetap menganggapku sebagai lelaki tertolol yang pernah kau jumpai. Tak apa. Aku mengerti sepenuh hati. Seperti juga, kau kembali denyutkan rasa sepi itu yang bergejolak, melimpahkannya lewat sajak-sajak kotor, yang tak seorangpun mau membacanya. Atau, apa diriku yang terlalu picik setiap kali berhadapan denganmu? Karena aku yang selalu mengasingkan diri. Bersembunyi di ruang kegelapan. Bukan, bukan aku takut menghadapi dunia yang katamu hingar-bingar di lur sana. Namun, sebetulnya—aku hanya ingin mendapatkan ketenangan sedikit. Pernah, suatu kali aku bertemu di luar sana dengan seorang pengemis. Pengemis itu teramat tua. Janggutnya yang tak rapi dan memutih, keriput di tangannya yang gemetar memegang tongkat. Bajunya yang buluk tak pernah tercuci. Tapi, apa dayaku? Sementara, aku sendiri saja mirip dengan dia. Hidupku berantakan. Tak beraturan. Untungnya, aku masih bisa menikmati cahaya matahari. Mendengarkan angin yang menghela napas dengan tersengal. Menikmati pantai. Sesekali, pergi ke hutan-hutan. Maka, ketika pengemis itu menyodorkan piring kalengnya untuk meminta sesuatu yang bisa dimakan. Aku hanya bisa menghardik, “Pergi…pergi saja kau jauh!”. Meski, aku tahu kesedihanku berlarut setelah itu. Tapi, apa boleh buat? Kesemuanya mengajarkan padaku jika memang pada saat ini yang kuasalah yang menang. Uanglah yang berbicara. Dalam teori, Tuhanlah yang maha Kuasa, tapi prakteknya tetap saja orang-orang mendewakan uang. Tentu, kau menganggap pengalamanku selama di luar sana merupakan cerita picisan belaka. Terlalu belagu, sok berjiwa sosial. Padahal, aku tak pernah memberikan apa-apa buat pengemis itu. Ya, hidupku saja sudah sulit. Keuanganku begitu tipis. Sesekali aku hanya bisa bergumam dalam hati bila hidup terkadang sangatlah tidak adil buat orang-orang macam kita. Orang-orang yang selalu dikalahkan oleh ketidakadilan. Orang-orang yang selalu menggigit jari telunjuknya, merasakan kesepian yang meronta begitu dalam. Lalu, kebimbangn terus datang berulangan, mirip dengan slide film yang sepotong-sepotong datang, tiada tercegah. Untung, terkadang aku selalu mengingat kamu. Setidaknya, barangkali itulah yang bisa membuatku bertahan sampai sekarang. Walau sebenarnya aku merasakan kerapuhan yang amat sangat. Aku begitu ngilu. Entah, berapa banyak nyawa yang menghilang sekadar untuk menyusun sebuah sejarah baru. Ah, Cinta, tentu kau menganggap aku ini orangnya norak. Sok tahu. Barangkali, aku sudahkan saja jawabanku ini buatmu. Dan, kuharap kau tak perlu lagi bersusah-payah membacakan puisi di televisi, radio, atau menulis yang bukan-bukan di koran. Sebab, aku telah membaca hatimu sejak lama. Aku telah tahu semuanya. Seperti juga tentang hutan dan pantai yang selalu kau ceritakan. Mungkin, jawaban ini akan kubakar sebelum aku menata perjalanan lagi. Perjalanan yang katamu selalu sepi. Atau barangkali, akan kuletakkan di sebuah lobang rahasia. Biarlah, kelak nanti orang-orang tertentu saja yang bisa membacanya. Entah, berapa tahun lagi. Sepuluh tahun, seratus tahun, seribu tahun? Mungkin, jawaban ini tak akan pernah sampai ke tanganmu. Tak pernah kau dengar dan kau lihat. Tapi, setidaknya telah kutitipkan hatiku buatmu. Hati yang telah mengukir pantai dengan ombak-ombaknya yang ganas selama ratusan tahun. Apabila kau ingin teruskan percintaanmu dengan Rangga. Silakan. Aku telah ikhlaskan semua. Dan, kudoakan kau selalu hidup berbahagia. Seperti, cerita dalam novel-novel dulu. Lalu, merekapun hidup berbahagia untuk selama-lamanya. Negeri Lampung, 5 April 2002 Peluk dan cium untuk Cinta Pedro.